Senin, 21 November 2016

SENI RUPA TERAPAN


SENI RUPA TERAPAN JAWA


SENI RUPA TERAPAN

Seni rupa terap sering disebut juga sebagai seni kria, yaitu paduan antara seni dan ketrampilan. Seni terapan mulai berkembang pesat setelah jaman kemerdekaan Bangsa Indonesia, meskipun bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa yang telah mempunyai peradaban tinggi di bidang seni rupa terapan sebelum pengaruh barat masuk ke Indonesia. Dalam mempelajari seni rupa terapan akan kita intregasikan dengan karya seni rupa terapan tradisional. Karya seni rupa terapan yang kita kenal di daerah kita terbagi dalam 4 jenis karya terapan yaitu : Kaligrafi, Desain, Kria, dan Produk Industri. Terkait dengan pembelajaran seni budaya berbasis local (genius local seource) kita akan terapkan dengan materi contoh karya rupa terapan tradisional yang ada di daerah Jawa Tengah.



A. KALIGRAFI
Huruf adalah media utama sebuah karya Kaligrafi. Di Jawa, karya ini sudah pernah ada namun mulai berkembang pesat sejak budaya Islam masuk di Indonesia. Kaligrafi dalam pengertian khusus indentik dengan huruf Arab, akan tetapi di Jawa ada juga kaligrafi huruf Jawa dan zaman mutakir ini huruf internasional juga sudah ada.

Contoh kaligrafi dari huruf arab :



Contoh kaligrafi huruf Jawa :
















B. DESAIN TRADISIONAL
1. Arsitektur Rumah Jawa


Desain eksterior adalah gambar dan proses rancang bangun sebuah bentuk bangunan secara keseluruhan yang juga memperhatikan disiplin ilmu lain (material, kontruksi, kebudayaan lingkugan hidup). Masyarakat Nusantara membuat bangunan dalam berbagai fungi yaitu (1) tempat tinggal, (2) lumbung padi, dan (3) tempat beribadah.
Di Jawa Tengah terdapat rumah Joglo yang berfungsi sebagai tempat ibadah sekaligus sebagai ciri khas budaya masyarakatnya. Sebagai contoh masjid Demak yang struktur bangunannya sangat dekat dengan dtruktur rumah Joglo.

Di dalam masyarakat Jawa, baik sebagai sentana, abdi maupun kawula dalem, walaupun tidak tertulis secara tradisional tidak dibenarkan melakukan pelanggaran terhadap pranata-pranata sosial masyarakat. Misalnya tata aturan sopan-santun, tingkah laku, gaya hidup, tata cara pergaulan dan rumah tempat tinggal pun termasuk dalam aturan tersebut dan dibuat secara hirarkis.

Rumah Jawa dalam suasana kehidupan feodal misalnya tidak dibenarkan membangun rumah tempat tinggal (dhatulaya istana) dengan menggunakan bangunan limasan atau Joglo atau kampung tetapi sebaiknya menggunakan bangunan sinom mangkurat untuk Sasana Prabasuyasa. Bangunan limasan atau joglo hanyalah untuk bangunan pelengkap saja. Misalnya untuk kantor, ruang pertemuan, perlengkapan, paseban dan sejenisnya. Aturan tersebut didasarkan pada kedudukan sosial pemiliknya yang merupakan simbol status bagi pemilik golongan raja, yogiswara, abdi dalem dan sentana dalem. Mengapa demikian? Karena golongan ini dianggap sebagai golongan penguasa dan bahkan suci, maka bangunan umah tempatnya harus meniru bangunan suci, tinggi (seperti gunung suci; besar (seperti dunia yang luas); bersekat-sekat seperti candi, pura ataupun bangunan suci lainnya. Bentuk bangunan rumah dikompleks istana (dhatulaya) dalam batas-batas tertentu boleh dicontoh oleh para sentana dan abdi dalem, tetapi dilarang bagi kawula dalem.

Kita ketahui bahwa bangunan pokok rumah adat Jawa ada lima macam yaitu Panggung pe, kampung, limas, joglo dan tajug. Namun dalam perkembangannya, jenis tersebut masih tetap berpola dasar bangunan rumah adat Jawa hanya bangunan dasarnya masih tetap berpola dasar bangunan yang lima tersebut. 
Gambar pola rumah Jawa :




(Joglo)


 (Tajug)


Dalam bangunan rumah adat Jawa tersebut ditentukan ukuran, kondisi perawatan rumah, kerangka dan ruang-ruang di dalam rumah serta situasi di sekeliling rumah yang dikaitkan dengan status pemiliknya. Di samping itu, latar belakang sosial, dan kepercayaannya ikut berperan, agar memperoleh ketentraman, kesejahteraan, kemakmuran, maka sebelum membuat rumah baru, tidak dilupakan adanya sesajen yaitu benda-benda tertentu yang disajikan untuk badan halus, dahnyang desa, kumulan desa dan sebagainya, agar dalam usaha pembangunan rumah baru tersebut memperoleh keslamatan.
Dalam masyarakat Jawa, susunan rumah dalam sebuah rumah tangga terdiri dari beberapa bangunan rumah. Bangunan rumah tersebut terdiri dari
(1) Pendhapa, terletak di depan rumah tempat tinggal,
digunakan untuk menerima tamu.
(2) Omah buri digunakan untuk rumah tempat tinggal,
(3) Senthong adalah kamar tempat tidur,
(4) Pringgitan, terletak diantara rumah belakang dan pendhapa. Pringgitan ialah tempat yang digunakan untuk pementasan pertunjukan wayang kulit, bila yang bersangkutan mempunyai hajat kerja. Dalam pertunjukan tersebut tamu laki-laki ditempatkan di pendhapa sedang tamu wanita ditempatkan di rumah belakang. Susunan rumah demikian mirip dengan susunan rumah istana Hindu Jawa, misalnya Istana Ratu Boko di dekat Prambanan.

Berukit adalah skema susunan rumah orang Jawa :


Bagi warga masyarakat umum (kawula dalem) yang mampu, disamping bangunan rumah tersebut sebagai tenpat tinggalnya masih dilengkapi dengan bangunan lainnya misalnya.
(1) Lumbung, tempat menyimpan padi dan hasil bumi lainnya. Biasanya terletak di sebelah kiri atau kanan Pringgitan. Letaknya agak berjauhan.
(2) Dapur/pawon terletak di sebelah kiri rumah belakang (omah buri.), tempat memasak.
(3) Lesung, tempat menumbuk padi. Terletak di samping kiri atau kanan rumah belakang (pada umumnya terletak di sebelah belakang).
(4) Kandang, tempat untuk binatang ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing, angsa, itik ayam dan sebagainya). Untuk ternak besar disebut kandang untuk ternak unggas ada sarong (ayam), kombong (itik, angsa); untuk kuda disebut gedhogan. Kandang bisa terdapat di sebelah kiri pendapa, namun ada pula yang diletakkan di muka pendhapa dengan disela oleh halaman yang luas. Gedhogan biasanya menyambung ke kiri atau kanan kandhang. Sedang untuk sarong atau kombong terletak di sebelah kiri jauh dari pendhapa.
(5) Peranginan, ialah bangunan rumah kecil biasanya diletakkan di samping kanan agak berjauhan dengan pendapa. Peranginan ini bagi pejabat desa bisa dibunakan untuk markas ronda atau larag, dan juga tempat bersantai untuk mencari udara segar dari pemiliknya.
(6) Kemudian terdapat bangunan tempat mandi yang disebut jambang, berupa rumah kecil ditempatkan di samping dapur atau belakang samping kiri atau kanan rumah belakang. Demikian pula tempat buang air besar/kecil dan kamar mandi dibuatkan bangunan rumah sendiri. Biasanya untuk WC ditempatkan agak berjauhan dengan dapur, rumah belakang, sumur dan pendhapa.
(7) Regol, yaitu Pintu msuk pekarangan sering dibuat Regol. Demikian sedikit variasi bangunan ruah adat Jawa yang lengkap untuk sebuah keluarga. Hal tersebut sangat bergantung pada kemampuan keluarga. Besar kecilnya maupun jenis bangunannya dibuat menurut selera serta harus diingat status sosial pemiliknyya di dalam masyarakat. Untuk dindingnya menggunakan gedheg (anyaman kulit bammabu), gebyok (ari papan kayu dan Patangaring (Gedheh yang dibingkai kayu).

 (Gedheg)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar